Penulis Opini: Mashur Imam

Oleh: Mashur Imam

Narasi “ndasmu etik” sempat viral pasca acara debat pertama capres periode 2024-2029. Kalimat ini muncul dari Capres 02, Prabowo Subianto, dan dianggap sebagai wacana tandingan Capres 01, Anies Baswedan.

Tampaknya, wacana etik seorang kepemimpinan dalam perhelatan politik saat ini begitu seksi dan sepertinya juga cukup penting.

Buktinya, pada acara debat kedua, secara terang benderang kedua calon, baik Probowo dan Anis, berdebat soal hal-hal etik yang wajib ada dalam ndas (kepala) seorang pemimpin.

Terlepas dari perdebatan yang begitu panas dan saling hujat, ada hal yang penting dan perlu direfleksikan, yakni semua kandidat sepakat bahwa kepala pemimpin wajib memiliki nilai etik yang baik.

Kesepakatan ini yang perlu kita kunci sebagai sesuatu yang tak dapat ditawar untuk membangun Indonesia yang benar-benar raya. 

Masalah Etik yang Membatu

Walaupun semua pihak telah sama memandang penting, bukan berarti politik etik dapat dibangun dengan mudah.

Alasannya, tidak semua orang memiliki pandangan etik yang sama. Perlu diskusi dan refleksi yang tebal dan kompleks bahkan bisa saja membutuhkan tenaga dan anggaran politik yang tak murah.

Sebab, banyak tantangan dan masalah besar bangsa ini untuk menggapai konsensus etik yang luhur.

Mulai dari masalah sejarah politik kita yang tak pernah bersih dari tindakan koruptif, ketimpangan ekonomi, fanatisme identitas hingga maraknya tindakan diskriminatif dalam pendidikan.

Penyakit yang terjadi pada budaya politik bangsa ini, sudah dalam stadium akhir.

Sampai-sampai, untuk menyelesaikannya disetarakan dengan air turun dari langit saat musim hujan. Seolah hanya pawang hujan yang mampu mengatasinya. 

Persoalan panjang etik yang berjibaku, sebenarnya berkaitan erat dengan proses produksi isi kepala tokoh-tokoh dan aktor politik sendiri.

Dimana, bagaimana dan dengan apa mereka membentuk isi kepalanya, sejauh itu pula tensi kebaikan etika dalam ndasnya. Etik dalam ndas seorang lulusan akademik militer, tentu berbeda dengan lulusan pendidikan sosial dan keagamaan.

Etik dalam kepala lulusan kedokteran, pasti berbeda dengan isi kepala lulusan hukum. Perbedaan ini yang secara rasional membuat masalah etik membatu dan niscaya.

Untuk itu, hal yang perlu dilakukan dalam mencairkan masalahnya adalah melakukan rencana bersama berdasarkan dimana, bagaimana, dan dengan apa isi ndas masing-masing aktor politik dilahirkan. 

Perguruan Tinggi Sebagai Sumber Masalah “Ndasmu Etik”

Seluruh kandidat Capres-Cawapres di Indonesia dapat dipastikan telah menempuh pengalaman dan pendidikan tinggi.

Para aktor dan pemimpin politik di negara ini, hampir seratus persen merupakan jebolan perguruan tinggi. Jadi, jika pertanyaan besarnya adalah dimana “ndas etik” calon pemimpin terbentuk, maka jawaban paling memungkinkan adalah perguruan tinggi. 

Lantas bagaimana dan dengan apa?, pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Pastinya, perubahan sistem dan konflik politik yang terjadi–dari pasca kemerdekaan hingga dewasa ini–tidak dapat dilepaskan dari peran komunalitas perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri.

Gairah kemerdekaan Indonesia dalam sejarah, diakui banyak yang bersumber dari ide komunal perguruan tinggi. Tumbangnya rezim orde baru juga demikian, tak dapat dilepaskan dari peran politik perguruan tinggi.

Bahkan saat ini, beberapa pengurus parpol dan sejumlah praktisi politik yang masyhur, jika ditelusuri, juga berasal dari rahim kelompok organisasi kampus.

Faktor historis demikian, memperlihatkan bahwa dinamika politik kampus dapat menjadi pabrik pengalaman dan pengetahuan ndas etik diproduksi.

Artinya, jika ndas etik pemimpin politik baik, maka kampus telah berhasil melakukan produksi pengetahuan dan pengalaman etik yang luhur.

Bagaimana etik dalam ndas saat ini? sudah baik? survei membuktikannya, tidak. Pemimpin banyak yang korupsi dan diskriminasi terjadi dimana-dimana.

Jika Prabowo menyebutkan etik ndasmu adalah kebersihan jiwa, maka jiwa aktor politik saat ini dapat juga dikatakan tidak baik-baik saja. Besar kemungkinan perguruan tinggi sebagai sumber ndas yang etik, sebenarnya sejak awal telah bermasalah.

Tampaknya, memang proses pengembangan dan budayanya berpotensi melahirkan aktor-aktor politik berkepala “brengsek” dan “bajingan” secara etik.

Perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya menjadi pusat perdebatan ilmu, namun juga banyak konflik dan masalah politik yang terjadi.

Hal demikian bisa dibuktikan dengan banyaknya kasus kesewenang-wenangan tata kelola perguruan tinggi yang diperkarakan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Bahkan ada banyak fakta tentang pimpinan perguruan tinggi yang melakukan tindak pidana kepada bawahan dan mahasiswanya.

Belum lagi, ada konflik yang terjadi antar kelompok politik mahasiswa yang juga tampak membuat keruh produksi ndas etik.

Fakta ini banyak kita temukan dalam pemberitaan dan penelitian.  

Apalagi, Komnas HAM menetapkan perguruan tinggi sebagai tempat terjadinya diskriminasi terbanyak di Indonesia.

Diskriminasi tidak mungkin terjadi, jika kepemimpinan birokrasi kampus berjalan berdasarkan etik yang baik. Birokrasi kampus hingga dialektika politik identitas organisasi mahasiswa adalah elemen dan bahan induk produksi ndas etik yang luhur.

Artinya, jika birokrasinya politik kampus telah dibangun dengan etika yang baik, maka produksi etik dalam ndas aktor masa depan politik bangsa berpotensi membaik. 

Sudah saatnya dan semestinya pembangunan etik dalam ndas politisi-politisi diperbaiki dengan cara yang lebih rasional dan mendasar.

Politik etik di Indonesia dapat dikembangkan dengan menjamin baiknya pengetahuan dan pengelaman politik yang baik.

Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan budaya pendidikan tinggi. Jadi, sebagai langkah awal, pemerintah dan masyarakat perlu fokus pada perbaikan budaya dan birokrasi kampus baik yang swasta maupun negeri.

Konkretnya, bagi siapa pun yang peduli pada terciptanya politik etik, hendaklah ikut mengoreksi bersama perilaku dan budaya birokrasi politik kampus, sebab merupakan tempat generasi pemimpin bangsa ini dididik.

Targetnya, agar produksi etik dalam ndas tak terpisah dari cita-cita dan tujuan luhur bersama.

Apabila ditemukan pengelolaan dan tindakan birokrasi politik kampus yang tidak etis, bergeraklah untuk memperbaikinya.

Sikap acuh tak acuh pada keburukan etis perguruan tinggi adalah pangkal kerusakan kepemimpinan politik bangsa ini. Na’udzubillah...!

*Penulis adalah Penanggung Jawab Komunitas Kajian-Penelitian Dar Al-Falasifah, Sekretaris LAKPESDAM PCNU Jember dan Dosen STAI Cendekian Insani Situbondo

*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Bangsapedia.com tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini. 

Tim Redaksi

34 Pohon Tumbang di Jember Saat Hujan Disertai Angin

Artikel Sebelumnya

Hujan Deras Disertai Angin, 54 Bangunan Balai Desa hingga Sekolah di Sumenep Rusak

Artikel Selanjutnya

You may also like

More in Opini