Jember, bangsapedia.com - Awalnya hanyalah tiga egrang, dimainkan oleh anak-anak di kaki bukit Ledokombo.

Tiga alat permainan tradisional menjadi magnet. Anak-anak yang lain mulai tertarik untuk bermain.

“Darisana, komunitas tanoker berdiri pada tahun 2009lalu,” kata Cicik Farha, pendiri Tanoker.

Ciciek melihat ada karunia besar setelah melihat anak-anak yang bermain egrang.

Dia mulai menambah alat permainan. Lalu menamakan perkumpulan itu dengan komunitas tanoker (kepompong).

Selanjutnya, Tanoker berkembang sampai sekarang berkat pemikiran dari anak-anak.

 “Saya percaya, anak-anak motor perubahan, kuncinya percaya pada mereka,” tegasnya.

Mereka  tak puas kalau hanya bermain egrang, lalu memunculkan ide pawai dengan egrang, kemudian gerak jalan egrang, main bola dengan egrang sampai  festival egrang.

Sebelumnya, Desa Ledokombo merupakan daerah yang tertinggal. Banyak kejadian kriminalitas, trafficking, HIV/Aids, putus sekolah, kekerasan anak serta narkoba.

Warganya merupakan masyarakat yang menjadi buruh migrant di sejumlah Negara.

Ironisnya, masyarakat Ledokombo pesimis dan tidak berharap banyak pada tanah kelahirannya.

Mereka menilai, Ledokombo tidak bisa berubah. Namun, kehadiran tanoker merubah keadaan. Ada secercah lilin menyala yang menerangi desa di ujung timur Kabupaten Jember tersebut.

“Tanoker hadir ingin member kebahagiaan, menjadikan masyarakat bangga dengan desanya,” tambah Ciciek.

Perubahan itu mulai tampak. Oktober 2010, pawai egrang menjadi spirit kebangkitan Ledokombo.

Sampai sekarang, egrang menjadi ikon di Ledokombo dengan berbagai inovasi, misal sepak bola egrang.

Tak puas sampai disitu, tanoker terus mengembangkan potensi desa, seperti mendirikan taman baca masyarakat, pemberdayaan mantan buruh migrant, pertanian organik dan lainnya.

 

Bagus Supriadi

KH Musoddiq Fikri: Bulan Ramadan Adalah Kampus Kehidupan

Artikel Sebelumnya

Asal Usul Cerutu Jember yang Mendunia, Begini Sejarahnya

Artikel Selanjutnya

You may also like

More in Be-Live