Jember, Bangsapedia.com – Sejarah  Pulau Nusa Barong di Kecamatan Puger Kabupaten Jember Jawa Timur tak luput dari zaman penjajahan.

Yakni sejak penjajah VOC memasuki Kawasan nusantara untuk berbagai kepentingan.

Saat itu, Pulau Nusa Barong menjadi rebutan bagi para bajak laut, pedagang nusantara hingga VOC.

Sebab di dalamnya ada potensi burung wallet yang menguntungkan untuk diperjualbelikan di lintas negara.

Dikutip dari lamam bbksda Jatim, Nusa Barung merupakan  pulau kecil yang terletak di selatan Pulau Jawa yang masuk dalam wilayah Desa Puger Wetan.

 Sebagai salah satu pulau terluar yang terletak di Samudra Hindia, Pulau Nusa Barung hanya berjarak 2,6 km dari Puger, namun perlu waktu 2,5 jam untuk mencapainya dengan perahu nelayan.

pada zaman dahulu, Pulau Nusa Barong diwarnai oleh hiruk pikuk perdagangan sarang burung walet dari berbagai negara.

Armada kapal-kapal besar hilir-mudik melintasi kawasan pesisir selatan Jawa, tak terkecuali Pulau Nusa Barong.

Armada-armada niaga itu berasal dari Eropa (Belanda dan Inggris) serta Asia Timur seperti Vietnam (Campa) dan China.

Rasanya sulit dipercaya kalau saat ini di pesisir selatan Jawa hanya ada nelayan-nelayan kecil bermesin motor tempel yang cuma mampu menempuh jarak tak lebih dari 30 mil.

Mereka pun baru menangkap ikan pada tahun 1980-an. Padahal, ribuan tahun silam, kawasan ini diwarnai tata niaga internasional yang sangat ramai.

Sudah ribuan tahun masyarakat China percaya sarang walet sangat manjur dalam dunia medis. Mereka percaya sarang burung walet mampu mengobati penyakit asma secara manjur.

Selain itu, sarang walet juga dikenal memiliki khasiat untuk meningkatkan kekebalan (imun) tubuh.

Siapa yang mengonsumsi sarang walet, niscaya tubuhnya senantiasa bugar dan sehat, tak mudah diserang aneka penyakit.

Karena itulah tak mengherankan kalau pedagang China bernafsu untuk memburu sarang walet di sepanjang pesisir selatan Jawa.

Seperti diketahui, secara geologis, pesisir selatan Jawa merupakan kawasan karst (batuan kapur) yang memang memiliki ribuan gua. Sebagian besar dari gua-gua ini menjadi tempat ideal bagi sekumpulan burung walet (Collacalia) untuk bersarang.

Menurut Ahfi Wahyu Hidayat, peserta Ekspedisi Geografi Indonesia 2012, tak ada catatan sejarah sejak kapan sarang burung walet diperdagangkan melalui jaringan niaga internasional.

Hanya saja, pada abad ke-13, Raja Singosari pernah mengirimkan hadiah sarang walet kepada kaisar China untuk memperkuat hubungan diplomatik di antara keduanya.

Wolter (1967) mencatat hubungan dagang China dengan Nusantara terjalin pada abad ke-3.

Ketika itu arus barang dan jasa terutama obat-obatan dan resin kayu dari Tanah Air mengalir pelan-pelan ke jaringan niaga Asia Timur melalui laut.

Dugaan perdagangan sarang walet tersebut diperkuat dengan hipotesis para arkeolog yang meneliti aktivitas manusia di kawasan karst Gunung Kidul.

Ketika itu masyarakat lokal tak memiliki tradisi pengobatan dengan menggunakan sarang walet. Sebaliknya dengan tradisi pengobatan ala China.

Mereka percaya, sarang walet mengandung unsur alami yang mampu menangkis dan melawan aneka penyakit.

Berdasarkan kondisi inilah terjalin pola niaga yang saling menguntungkan: warga pribumi memanen dan menjual, warga China membelinya.

Pola niaga itu berubah total ketika sarang walet dijadikan komoditas politik. Ketika itu, penguasa Blambangan, Pangeran Adipati Danuningrat, minta bantuan VOC agar dapat melepaskan pengaruh Kerajaan Mengwi, Bali.

Sebagai imbalannya, VOC mendapatkan hasil sarang walet dari daerahnya. “Namun bantuan politik ini justru mengundang VOC ikut campur tangan lebih jauh dalam menguasai sumber daya alam Kerajaan Blambangan,” ujar Ahfi.

Setelah Blambangan runtuh, VOC malah mendirikan tiga pos militer untuk mengamankan komoditas sarang walet.

Ketiga pos yang tersebar di Teluk Grajakan Alas Purwo, Pulau Nusa Barong, dan Pulau Sempu itu menjadi penghubung jalur niaga sarang walet di pesisir selatan Jawa seperti di Pacitan dan Karang Bolong.

“Jalur inilah yang sejak abad ke-18 menjadi wilayah pertarungan niaga antara para pedagang Nusantara, China, Inggris, dan VOC,” tutur dia.

Menurut hitungan VOC, nilai ekonomi dari perniagaan sarang walet tersebut mencapai 2.900 real dalam setahun. Angka tersebut berasal dari perdangan sarang walet dari Nusa Barong, Malang, Lumajang, Sabran, dan beberapa distrik di Jawa Timur.

“Sebelum VOC masuk, Nusa Barong menorehkan rekor sebagai penghasil sarang walet terbesar yang diekspor ke China,” jelasnya.

Sejak intervensi VOC ke Nusa Barong, produktivitas sarang walet terus melorot tajam.

Hal itu disebabkan pola pengambilan sarang secara berlebihan.

“Nusa Barong menjadi titik pertarungan dan penguasaan bagi para bajak laut, pedagang Nusantara, dan VOC. Mereka saling memperebutkan sarang walet,” ungkap Ahfi.

Jadi, jangan kaget, jika pada tahun 1772 Nusa Barong dihuni oleh banyak pendatang. Tercatat ada sekitar 1.000 orang yang berasal dari Jawa, Bali, Bugis, Sumbawa, Wajor, Melayu, dan Manggar. Sebagian dari mereka bertani lahan kering, menanam padi, kapas, kelapa, buah, dan pinang.

Fenomena ini malah mengundang kapal-kapal pedagang dan bajak laut datang mencari sarang walet. VOC pun segera bertindak.

Pada tahun 1779 mereka segera mengosongkan Nusa Barong untuk mencegah agar para bajak laut dan pedagang Nusantara tak datang lagi.

Dengan strategi tersebut, mereka berharap sistem perdagangan VOC tak terganggu. Aneka cara dipakai untuk mengosongkan pulau tersebut. Kolonialis itu membakar gua-gua yang dihuni walet.

Tak hanya itu, ke dalam gua-gua juga dimasukkan belerang untuk menghalau burung walet agar tak lagi bersarang di sana. Langkah ini memang terbukti berhasil.

 Sejak saat itulah tak ada lagi sekawanan burung walet yang sudi bersarang di sana. Setelah sekian lama, VOC ingin mengembalikan kejayaan Nusa Barong sebagai penghasil sarang walet.

Namun, usaha itu sia-sia belaka. Beberapa armada laut yang dikirimkan dengan membawa para ahli nyatanya tak mampu mengembalikan ke kondisi seperti semula.

“Gua sudah terkontaminasi oleh belerang sehingga burung walet tak sudi bersarang kembali,” jelas Ahfi.

Bahkan sampai sekarang pun, tak ada lagi burung walet yang bersarang di gua-gua Pulau Nusa Barong.

Bagus Supriadi

Kabar Baik, Bantun BOP dari Kemenag Untuk Lembaga RA Cair

Artikel Sebelumnya

Warganya Sudah Tau Belum, Sejarah Lumajang Berawal dari Puncak Semeru yang ada di India Loh

Artikel Selanjutnya

You may also like

More in Be-Live