Ilustrasi Pixabay

DENPASAR, Bangsapedia.com -  Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) resmi digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, sebagai alat bantu proses penghitungan suara pada Pemilu 2024.

Sirekap mudah diakses dengan mengunggah aplikasi dan membuka laman pemilu2024.kpu.go.id. 

Tetapi, setelah pemungutan suara pada tanggal 14 Februari di Pemilu 2024, muncul sejumlah masalah dalam sirekap.

Misalnya saja, adanya dugaan penggelembungan dan pengurangan suara yang menjadi sorotan oleh kalangan masyarakat.

Dugaan kecurangan itu, juga dilaporkan oleh Tim Hukum Nasional (THN) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) Bali. Tetapi laporan itu ditolak oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bali. 

Sebelumnya, THN AMIN mendatangi Kantor Bawaslu Bali, yang berada di Renon, Kota Denpasar, pada Jumat (23/2) lalu, untuk melaporkan dugaan penggelembungan suara di aplikasi sirekap bagi Pasangan Calon (Paslon) 02, Prabowo-Gibran yang diduga menyebabkan suara milik paslon 01 Anies-Muhaimin hilang.

Ketua Koordinator THN AMIN Bali, Ahmad Baraas mengatakan dugaan penggelembungan suara paslon 02 di sirekap itu memang terjadi.

Namun, ia tak spesifik menyebut di Tempat Pemungutan Suara (TPS) mana saja ada penggelembungan suara dan berapa suara AMIN di Bali yang diduga hilang.

"Apakah benar ada penggelembungan suara di KPU Bali, benar ada. Saya beri print out-nya kalau dibutuhkan penggelembungan suara yang ada di kabupaten-kabupaten. Tapi, apakah sekarang sudah diperbaiki oleh KPU kami juga tidak tau. Itu penggelembungan suara lewat aplikasi sirekap," kata Baraas, saat ditemui di rumahnya di Denpasar, Bali, Minggu (3/3/2024 lalu.

Ia mengetahui, dugaan penggelembungan suara di hari pencoblosan tanggal 14 Februari 2024 sore ketika melalukan survei kecil-kecilan bersama tim-nya. Lalu, di salah satu TPS  di wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, ditemukan ada 800 suara yang masuk di sirekap dan itu juga terjadi di kabupaten lainnya.

"Ternyata di beberapa tempat (TPS) itu masuk 800 (suara) untuk paslon 02, di daerah Badung dan Tabanan. Saya bilang jangan dulu dijadikan persoalan, karena kita belum tau apakah nanti berubah atau tidak dan akhirnya besoknya kita cek lagi, sudah tidak ada itu," ujarnya.

Selain itu, dia mengaku mendapatkan laporan di daerah lain seperti di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng hasil formulir C1 plano Anies-Muhaimin yang ditampilkan dalam sirekap malah tidak sesuai.

"Tiba-tiba teman-teman di daerah lain di Jembrana di Buleleng, cek iseng-iseng di TPS hasilnya itu tidak seusai dengan form C1 plano data yang ada di sirekap," jelasnya.

Ia juga mengecek ke sejumlah saksi di Tim Pemenangan Daerah (TPD) AMIN di Bali di wilayah lainnya. Tetapi, saat itu saksi paslon 01 di Bali minim dan ada saksi yang tidak disiplin saat proses perhitungan suara di TPS dan laporan data banyak yang tak masuk.

"Andaikata banyak (saksi) yang jaga dan banyak yang memeriksa ini persoalannya pasti akan lain. Tetapi sekecil apapun adanya penggelembungan suara itu memang ada," ujarnya.

Ia menyebutkan, soal dugaan suara AMIN di Bali hilang di sirekap sudah mengeceknya dan ada dugaan dikurangi dan suara paslon 02 tiba-tiba banyak di sirekap. Padahal, di TPS masih proses input data hasil suara.

"Misalnya, dapatnya AMIN itu 5 atau 15 tiba-tiba masuknya 1 (suara). Padahal, masih (proses penghitungan) tapi sudah masuk di sirekap dan masih dihitung, (tiba-tiba suara) 02 yang banyak. Ada suara AMIN yang dihilangkan ada yang suara dibiarkan, lalu suara 02 menimbun," ujarnya.

Ia juga menyayangkan, para saksi paslon 01 di Bali yang kurang disiplin dan akhirnya saat ditanya soal selisih berapa suara tidak ada laporannya dan tak mengetahui berapa suara AMIN di Bali yang diduga hilang.

"Iya dari kesalahan kita sendiri, saksi-saksi yang tidak disiplin termasuk TPD-nya di tingkat dua. (Soal selisih suara) masalahnya seperti yang tadi saya bilang laporan data saksi itu," ujarnya.

Soal bukti apa saja yang dimilikinya, ialah bukti print out perubahan suara di sirekap dan dugaan penggelembungan suara,"Print out perubahan suara, karena perolehan suara masih dihitung ada penggelembungan suara," ujarnya.

Ia menyatakan, ada suara AMIN di Bali yang diduga hilang di sirekap dan satu sisi suara paslon 02 menggelembung,"Ada suara kami yang hilang entah kemana larinya. Tapi di TPS tertentu ada suara yang menggelembung," jelasnya.

Sementara, Dwi Prihatanto Koordinator THN AMIN wilayah Kabupaten Jembrana, Bali, mengatakan dugaan penggelembungan suara paslon 02 ditemukan di salah satu TPS di Kecamatan Melaya, Jembrana.

Laporan itu, diadukan saksi yang memantau di salah satu TPS di Kecamatan Melaya dan saat dikroscek ada dugaan penggelembungan suara dan malah data itu sesuai dengan data di sirekap.

"Iya di TPS (dan) sesuai sirekap. Yang mencolok di Melaya sesuai dengan data yang kita ajukan ke Bawaslu itu kurang lebih 200 (suara) penggelembungan," kata Dwi, saat dihubungi via telepon Sabtu (30/3).

Namun, secara spesifik ia juga tak menyebut di TPS mana di Kecamatan Melaya ada penggelembungan suara itu. Selain itu, dugaan penggelembungan suara paslon 02  diduga terjadi di beberapa titik atau TPS di wilayah Jembrana lainya.

"Saksi ini dalam arti masyarakat, mengadu di TPS itu ada penggelembungan suara. Kita cek di sirekap, kita benarkan adanya penggelembungan itu dan kita buatkan rekapan dari pelaporan dan kita rangkum," ujarnya.

Kendati demikian, kelemahan dari laporan dugaan penggelembungan suara dari pihak saksi tidak mau diajukan menjadi saksi pelaporan. Akhirnya, sebagai bukti hanya mencocokkan laporan pengaduan dan data konkret di sirekap dan lalu ditemukan selisih hasil C1 plano dengan sirekap yang menjadi bahan laporan ke Bawaslu Bali.

"(Selain di Melaya) ada berapa titik di Jembrana cuma dari saksi tidak mau, banyak hal yang kita sesalkan di situ karena pihak saksi tidak mau diajukan," ujarnya.

Dwi yang juga Sekretaris THN Anies-Muhaimin Bali menyampaikan, saat melakukan pemantauan untuk di wilayah Bali banyak data yang diduga digelembungkan. Hal itu, diketahui dari laporan tim AMIN Bali yang bertugas di setiap kabupaten dan kota saat Pemilu 2024.

"Jadi banyak penggelembungan hampir berapa persen dari situ, pokoknya setiap wilayah juga ada. Makanya, kita kroscek dari pelaporan saksi di lapangan kita kaji kecocokan di data C1 sama sirekap KPU itu tidak sama," ujarnya.

Tetapi, saat ditanya apakah suara paslon 01 ada yang hilang saat Pemilu di Bali, ia tak mengetahuinya secara pasti karena laporan yang diterima hanya dugaan penggelembungan suara paslon 02 di sejumlah wilayah di Bali.

"Yang kita terima itu masalah penggelembungan saja. Untuk kekurangan dan kehilangan (suara paslon 01 di Bali) belum ada pengaduan di lapangan," ungkapnya.

Ia juga mengatakan, KPU RI juga sempat menghentikan sementara penghitungan rekapitulasi di tingkat kecamatan di Bali, karena aplikasi sirekap disebut eror dan data lama yang telah diinput akhirnya hilang di sirekap.

"Data yang lama yang kita input itu kita lihat di sirekap  hilang itu. Pertama hilang, (lalu) tidak dimunculkan terus diperbaiki, itu yang ketemu tapi yang tidak ketemu, tidak tau informasinya," ujarnya.

Sementara, terkait dugaan money politic untuk Pilpres di  Jembrana, Bali, itu juga terjadi tetapi informasi sulit dibuktikan dan saksi yang mengetahui juga tak mau diajukan menjadi pelapor karena dugaannya ada tekanan dari pihak tertentu.

"Kemarin ditemukan kalau tidak salah di Kecamatan Pekutatan. Cuman susah pengungkapannya, kita ada informasi, kita tinjau dan susah mau membuktikan," ujarnya.

Soal dugaan money politic, saksi yang mengetahui tak terus terang dan waktu itu memang ada video dugaan money politic di Jembrana, tetapi sudah terhapus dan lokasinya juga tidak akurat,"Saksinya juga tidak mau dibuat (pengajuan pelaporan) untuk saksi ada tekananlah kita tahu sendirilah, itu sudah rahasia publik untuk masalah itu," ujarnya.

Sementara, terkait tim paslon capres-cawapres berapa yang melakukan dugaan itu, ia enggan menyebutkan karena informasi itu dianggap tidak jelas dan tak akurat.

"Kurang tahu kalau masalah itu, cuma arahnya ke sana sih. Makanya, saya tidak bisa mengasumsikan karena tidak jelas informasinya, datanya kita tidak punya," ujarnya.

Karena dugaan money politic itu kesulitan diungkap, maka yang dilaporkan hanya dugaan penggelembungan suara paslon 02 di sirekap karena itu ada buktinya.

"Kan sudah kelihatan jelas C1 sama di sirekap tidak cocok dan ada bukti-bukti itu. Tapi untuk (money politik) itu susah pembuktiannya. Makanya waktu di Bawaslu yang masuk kategori valid itu di wilayah Melaya itu," ujarnya. 

H. Hary Wantono, salah satu anggota THN Anies-Muahimin Bali juga menanggapi laporan yang ditolak oleh Bawaslu Bali karena dianggap tidak memiliki syarat materiil.

"Kita memang sudah melaporkan dan jawabannya di sana itu tidak memenuhi. Istilahnya, tidak ada kerugian materialnya. Harapan kami itu diselidiki, simpel sekali temuan seperti itu," kata Wantono, di sela Sidang Pleno KPU  tingkat Provinsi Bali, pada Jumat (8/3) malam lalu.

Saat ditanya, berapa banyak suara AMIN di Bali yang diduga hilang ia tak merinci tetapi hal itu ada kendati tak banyak,"Memang tidak begitu banyak, kita menyadari C1 dan sirekap-nya tidak sesuai, kita wajar namanya melapor (suara yang hilang)," ujarnya.

Ia menilai, soal perhitungan suara  di sirekap yang dirugikan paslon 01 karena ada suara AMIN yang diduga hilang dan ada dugaan penggelembungan suara.

"Kita yang dirugikan, suara kita hilang di sirekap-nya dan C1 tidak sesuai dengan angkanya. Misalkan, C1 (dapat) 80 suara ditulis 70 (suara) kan hilang, satu suara kan berharga. (Kalau bukti), saya rasa hasil C1 tidak sesuai dengan sirekap-nya. Kita cuma mengamankan suara AMIN saja," ujarnya.

Wantono menyatakan, dugaan kecurangan dalam Pemilu Pilpres 2024 di Bali memang ada. Selain di sirekap yaitu dugaan money politik atau politik uang untuk memilih salah satu paslon capres-cawapres tertentu. Tetapi, ia tak menyebutkan tim paslon capres-cawapres berapa yang melakukan hal itu.

Dia mengaku, mendapatkan laporan dan cerita dugaan money politic terjadi di salah satu TPS di daerah Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

"Kalau fakta di lapangan di TPS  itu kenyataannya (ada kecurangan). Tapi kita tidak bisa membuktikan seperti apa, pemilih itu ditawari uang untuk memilih calon presiden, itu di Jimbaran  laporannya," ujarnya.

Ia juga menyampaikan, pemilih diduga ditawari sebesar Rp 400 hingga Rp 500 ribu per orang agar memilih salah satu paslon capres-cawapres dan  dugaan laporan itu sudah disampaikan ke Bawaslu Bali.

"Iya lumayan, per suara Rp 400 dan Rp 500 ribu. Kalau observasi di lapangan ke TPS-TPS kita dengar sendiri dan teman karib saya yang menceritakan seperti itu. Itu saksinya tim AMIN dan sudah (dilaporkan) itu memang kewenangan Bawaslu," ujarnya.

Soal modus dugaan money politic, ialah pemilih yang mau dibayar mencoblos capres-cawapres tertentu harus menyetor foto saat pencoblosan di TPS sebagai bukti mencoblos capres-cawapres tersebut.

Namun, ia enggan menelusurinya karena menurutnya sulit mendapatkan alat bukti karena dilakukan secara tertutup oleh pemilih yang mau dibayar.

"Yang jelas mainnya rapi. Pada saat nyoblos setor foto baru dibayar. Kalau saya ada buktinya, berani melaporkan itu, kan tertutup hanya dapat cerita yang mau ditawari. Kalau tidak mau, iya tidak dikasih tapi susah mau cari (bukti) seperti itu, orang (pemilih yang dibayar) juga tidak mau melaporkan," ujarnya. 

Dikonfirmasi berbeda, Bendahara Tim Pemenangan Daerah (TPD) Ganjar-Mahfud Bali, Dewa Made Mahayadnya atau Dewa Jack merespon dugaan penggelembungan suara yang dilaporkan oleh THN AMIN Bali.

Dewa Jack mengatakan, kalau soal dugaan penggelembungan suara di sirekap terkait Pilpres 2024 di Bali hingga saat ini belum menemukan hal itu,"Di Bali tidak (ada dugaan penggelembungan suara)," kata dia, saat ditemui di Kantor DPRD Provinsi Bali, Senin (18/3).

Namun, dugaan money politic di Pilpres Bali itu ada dan dilakukan salah satu tim paslon capres-cawapres dan laporan itu dia dapatkan dari struktur Partai PDIP Bali. Tetapi, belum bisa membuktikan hal itu dan soal dugaan money politic sudah dilaporkan ke Bawaslu Bali.

"Di Pilpres ada. Hanya ada beberapa titik dan secara umum tidak bisa diberikan penjelasan. Money politic juga kami tidak bisa membuktikan, (laporan itu) dari struktur partai kami dan sudah melaporkan juga dan itu dilakukan (salah satu tim paslon)," ujarnya.

Sementara, Ketua Bawaslu Provinsi Bali, I Putu Agus Tirta Suguna menerangkan ditolaknya laporan THN AMIN Bali dugaan penggelembungan suara paslon 02 di sirekap karena syarat materiil yang diajukan belum terpenuhi hanya syarat formilnya yang terpenuhi.

"Karena syarat materialnya harus ada SK (Surat Keputusan) KPU, yang harus digugat," kata Suguna, saat di sela Sidang Pleno Rekapitulasi Pemilu 2024 di tingkat Provinsi Bali, di Hotel Prime Plaza Sanur, Kota Denpasar, Bali, Jumat (8/3) malam lalu.

Menurutnya, surat SK KPU Bali harus dijadikan dasar oleh tim hukum paslon 01 sebagai proses keberatan. Tapi, perhitungan rekapitulasi masih berlangsung secara berjenjang sehingga keberatan itu tak terpenuhi dan tidak bisa ditindaklanjuti.

Kemudian, yang dilaporkan soal dugaan kecurangan itu salah satunya ialah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali dan Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di wilayah Kecamatan Kuta Selatan dan ada lainnya.

"Kalau syarat materiil SK dari KPU dan kita masih dalam proses mekanisme rekapitulasi secara berjenjang. Jadi, kami tidak bisa tindaklanjuti karena salah satu syarat materiil tidak terpenuhi," jelasnya.

Menurutnya, soal dugaan penggelembungan suara di sirekap bukan menjadi alat utama dalam proses rekapitulasi dan yang menjadi patokan adalah sistem rekapitulasi yang dihitung secara manual,"Yang menjadi alat utama adalah sistem rekapitulasi secara manual," ujarnya.

Ia juga mengakui, di sirekap KPU memang ada data yang anomali. Tetapi, hal itu sudah dikoreksi sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Pasal 02, Nomor 5, Tahun 2024.

"Memang kita akui, ada data-data anomali yang masuk dalam sirekap ini. Dalam proses ini tentu data anomali (sudah) dikoreksi. Memang, proses sirekap ini digunakan untuk membantu proses rekapitulasi," ujarnya.

"Tetapi kembali ke Pasal 16, PKPU nomor 5, tahun 2024 itu terkait dalam proses koreksi mempergunakan C1 plano. Jadi, itulah proses rekapitulasi yang terjadi, sehingga data anomali yang masuk dalam sirekap ini terkoreksi dalam proses rekapitulasi secara berjenjang dilakukan di tingkat kecamatan," lanjutnya.

Kemudian, soal dugaan suara paslon 01 yang diduga hilang di sirekap atau di TPS, kata dia usai proses rekapitulasi bisa kembali ditindaklanjuti untuk mengajukan upaya hukum,"Proses rekap itu sedang berlangsung, sehingga nanti silahkan dari tim kampanye kembali untuk melakukan proses-proses upaya hukum," ujarnya.

Ketua KPU Provinsi Bali, I Dewa Agung Lidartawan juga merespon dugaan penggelembungan suara paslon 02 Prabowo-Gibran di aplikasi sirekap KPU yang dilaporkan oleh THN AMIN Bali.

Ia meminta, agar membuktikan dugaan penggelembungan suara tersebut,"Buktikan saja nanti, sah-sah saja. Kalau nanti sampean semua jadi KPU, kalau yang menang pasti baik, kalau yang kalah pasti jelek, selama ada di pemilu kayak begitu saja," kata dia, saat ditemui di Kantor KPU Bali, pada Selasa (5/3) lalu.

Ia menyebut, THN AMIN Bali dan KPU Bali saling memiliki data dan itu bisa disandingkan apakah ada dugaan penggelembungan suara dan hilangnya suara di Bali saat Pemilu 2024.

"Kami punya data, di sana punya data  sandingkan. Kami tidak ada ke mana datanya, Cl plano-nya masih kok. Di mana gelembung-gelembung, kalau mau gelembung itu di pantai, kalau di KPU tidak ada," ungkapnya.

Terkait TPS yang terdaftar 800 Daftar Pemilih Tetap (DPT) di sirekap, menurutnya itu mustahil karena dalam satu TPS tidak lebih dari 300 DPT. Tetapi, ia mengakui saat itu terjadi masalah di sirekap KPU. Hal itu, kesalahan dalam mengonversi foto dokumen hasil penghitungan suara oleh petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) sehingga ada perubahan angka dan itu sudah diperbaiki.

"Itu mustahil. Saya bisa buktikan tidak ada, DPT tidak boleh lebih dari 300 (suara). Itu pasti masalahnya di sirekap, kalau mau foto di sirekap itu harus tepat ujung-ujungnya, klik lampunya juga harus jelas," ujarnya.

"Kalau (angka) 8 dari sini (difoto) agak miring sedikit jadi angka 3. Itu angka 1 itu bisa jadi 7, itu bisa saja. Sebenarnya habis foto harus diklarifikasi dulu, ini namanya KPPS cepet-cepetan begitu foto langsung kirim, mestinya foto surat suara berapa, oh salah, bisa diedit manual, diedit dulu baru kirim," ujarnya.

Sebelumnya, KPU Bali menghentikan sementara kegiatan penghitungan rekapitulasi hasil Pemilu 2024 di tingkat kecamatan seiring perbaikan data sirekap di situs Info Pemilu KPU Pusat. Kegiatan penghitungan suara di tingkat kecamatan di Bali serentak dihentikan pada Minggu (18/2) dan dilanjutkan kembali pada Selasa (20/2).

"Sudah kita perbaiki yang jedah itu, memperbaiki yang rusak-rusak. Dan terakhir di (sirekap di tingkat) kecamatan lagi diperbaiki, begitu pas rekap diambil fotonya lagi, kirim lagi, disesuaikan lagi di sirekap," ujarnya.

Soal ada 800 suara di salah satu TPS, ia menilai  hanya dibombastikan dan dipleset-plesetkan untuk dipermasalahkan nantinya,"Orang sekarang ke pengin cari sesuatu supaya besok dapat dimasalahkan, selalu begitu tapi kalau mau cek kita bongkar-bongkaran apa adanya," ujarnya.

Selain itu, dugaan penggelembungan suara yang dilaporkan sudah digelar sidang pleno di tingkat kabupaten dan kota dan hasilnya dikirim ke KPU Provinsi Bali dan telah disepakati dan ditandantangani oleh saksi paslon 01 dan secara tidak langsung terbantahkan penggelembungan suara.

"Iya terbantahkan orang saksinya ada di situ dan tanda tangan, tidak ada kecurangan," ujarnya. 

Sementara, Sekretaris Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran Bali, Cokorda Dwi Satria Wibawa juga angkat bicara tudingan yang menyebut dugaan penggelembungan suara dan  meminta THN AMIN Bali untuk membuktikan penggelembungan suara itu.

"Siapapun boleh melaporkan dan silahkan saja dibawa bukti-buktinya. Tapi, mereka tidak menyebutkan di TPS mana secara detail, kan menjadi asumsi," kata dia, saat di sela Sidang Pleno Rekapitulasi Pemilu 2024 di tingkat Provinsi Bali, di Hotel Prime Plaza Sanur, Bali, Jumat (8/3) malam lalu.

Ia juga meminta, jika  ada kecurangan yang dilakukan oleh tim paslon 02 di Bali, silahkan dibuktikan secara detail ada di TPS mana, di kecamatan dan kelurahan mana sehingga jelas semuanya.

"Harus detail kalau ingin melaporkan kecurangan, jangan hanya ada di Kabupaten Jembrana, di kecamatan ini, tapi tidak menyebutkan TPS-nya. Itu menjadi kabar burung dan hanya membuat gaduh. Kalau ada kecurangan ditunjukkan saja, iya buktikan jangan hanya omon-omon saja," ujarnya.

Ia menyatakan, akan siap  membuktikan perolehan suara Prabowo-Gibran di Bali tak ada  kecurangan atau penggelembungan suara,"Iya siaplah, silahkan saja mau dibuka kotak sekarang pun tidak masalah, kebetulan saya mengikuti (rapat) pleno dari bawah, jadi saya tau," ujarnya.

Josua M Sinambela selaku Direktur PT. Analis Forensik Digital sekaligus Pendiri Komunitas Digital Forensic & InfoSec (DFIS) menerangkan, sirekap memang banyak kelemahan salah satunya terkait optical character recognition atau OCR saat mengkonversi atau membaca foto formulir model C1 plano.

"Yang pasti banyak kelemahan di sirekap. Konversi OCR dan seterusnya itu bermasalah dan mereka mengakui, KPU juga sudah minta maaf atas itu," kata Josua, saat dihubungi via  telepon, Selasa (19/3).

Ia mengatakan, jika ingin membuktikan sirekap menjadi alat memanipulasi suara  bisa diceks dari formulir C1 plano yang diupload apa ada perubahan dan terjadi penggelembungan suara. Tetapi, hingga saat ini tak ada yang bisa membuktikan penggelembungan suara di sirekap soal C1 plano.

"Belum ada yang bisa membuktikan penggelembungan itu ada di C1 hasil scan foto itu. Setelah kita teliti, sirekap ini semua orang yang upload itu tercatat namanya di sana. Dan di semua foto itu ada identitas, siapa yang upload, termasuk orang KPU maupun KPPS," jelasnya.

Sebenarnya, di sirekap yang dipermasalahkan salah satunya ialah kesalahan di OCR terkait angka hasil penghitungan suara pemilu yang ditransplantasikan ke dalam bentuk digital dan itu banyak yang keliru sehingga melebihi suara DPT di TPS.

"Kita akui memang keliru aplikasi sirekap itu. Kita pastikan belum siap dipakai sebenarnya, tetapi dipaksakan oleh KPU," ungkapnya.

Ia juga menyayangkan, sistem sirekap tidak diuji secara komperhensif oleh para ahli dan hanya diuji oleh beberapa lembaga negara yang ditunjuk oleh pemerintah, salah satunya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

"Kita pastikan pengujian yang dilakukan oleh lembaga negara seperti BSSN dan segala macamnya, itu memang tidak mungkin sempurna, tidak mungkin baik dan tidak mungkin hasilnya cukup untuk mengawal pemilu yang sebesar kemarin," ujarnya.

Selain itu, mengoperasikan sirekap  belum adanya kesiapan SDM dari petugas KPPS untuk menginput data ke server KPU. Sehingga, banyak kesalahan dalam konversi angka atau jumlah suara dari foto yang diinputkan dan parahnya petugas KPPS baru dilantik terakhir menjelang Pemilu 2024.

"Itu yang kita kira tidak ideal. Harusnya, mereka sudah menguji aplikasi ini dari awal. Problemnya aplikasi ini baru dikembangkan. Maksudnya, ada banyak perbaikan di aplikasi ini yang baru ditambahkan dan itu berbeda dengan aplikasi sebelumnya yang diujicobakan," ujarnya.

Ia menerangkan, Bulan Desember 2023 dan Januari 2024, KPU sudah melakukan sosialisasi staging versi awal untuk sirekap. Tetapi, yang menjadi masalah saat IT KPU mengubah cara penulisan di form pleno di detik terakhir menjelang pemilihan. 

Kemudian, saat sosialisasi sebelumnya penulisan form pleno mengunakan kotak- kotak meniru angka digital dan menjelang pemilu kebijakan aturan itu diubah IT KPU dan menjadi penulisan biasa yang menyesuaikan dataset mereka dari sebelumnya bukan MNIST atau tulisan tangan biasa.

"Di akhir mereka menggunakan tulisan biasa, kertasnya KPU kan ada garis putus-putus untuk dipakai itu yang jadi polemik. Teknologi OCR untuk mengenali angka tulisan biasa akan mengalami anomali, ketika ada bentuk garis putus-putus di setiap angka suara yang dituliskan itu," ujarnya.

Sehingga, adanya hal itu hasil OCR membuat banyak kekeliruan saat menerjemahkan angka yang dikirim ke sirekap. Kendati, terjadinya kekeliruan di OCR tidak bisa juga dijadikan indikator disengaja memanipulasi suara untuk menggelembungkan suara di sirekap pada paslon tertentu. 

Menurutnya, penggelembungan suara di sirekap atau kesalahan OCR juga terjadi pada paslon capres-cawapres lainnya. Ia mencontohkan pemilihan di luar negeri atau PPLN.

"Bisa kita lihat kemarin PPLN di luar negeri. Itu ada TPS (di DPT) beberapa puluh tetapi hasil (suaranya) puluhan ribu semuanya. Seharusnya, tidak sampai 100 pemilihnya tetapi bisa sampai puluhan ribu, tetapi itu bukan hanya di salah satu paslon," ujarnya.

"Kalau (penggelembungan suara di sirekap) salah satu paslon itu belum terbukti. Karena di semua paslon juga ada permasalahan itu, meskipun ada orang memperbesarkan, oh di paslon 02 yang paling banyak. Tapi di paslon 01 juga banyak, di paslon 03 juga banyak kalau yang kita temukan," ujarnya.

Kemudian, soal perangkat teknologi seperti handphone dan lainnya yang digunakan oleh petugas KPPS juga berbeda-beda ketajaman atau pixel-nya sehingga terjadi permasalahan.

"Mungkin itu permasalahannya. Kalau perhitungan penjumlahan karena hasil OCR memang banyak yang keliru. Jadi, banyak orang yang beranggapan itu penggelembungan padahal kalau dihitung, dikalkulasi, hasil C1 itu tidak ada yang salah, tidak ada yang digelembungkan di C1-nya," ujarnya.

Pihak juga meneliti, sejauh ini untuk hasil C1 plano tidak ada perubahan suara di sirekap dan itu sudah diverifikasi lewat file yang telah diupload dan  siapapun yang mengupload diketahui karena ada signature digital atau tandatangan dan tertera nama petugas KPPS yang bertugas di TPS saat itu.

"Semua gambar-gambar itu kita sudah teliti. Itu ada digital signature-nya dalam setiap gambar yang diupload. Misalnya, kita lihat itu siapa petugas KPPS yang upload atau petugas KPU yang melakukan koreksi bisa diketahui yang meng-upload kembali," ujarnya.

"Tidak semua petugas KPPS itu berhasil meng-upload akhirnya diambil ahli petugas yang ada di kecamatan maupun di kabupaten. Tetapi, itu tetap ada dan tertera namanya dan itu tidak mungkin dimanipulasi oleh pihak luar kecuali yang punya akses ke sirekap, karena ada digital signature-nya masing-masing itu," ujarnya.

Ia menyatakan, selama ini yang ditemukan dari gambar C1 plano tidak ada perubahan suara dan data itu sudah dipublikasikan oleh KPU RI dan sampai sekarang belum ada yang bisa membantah data itu.

"Yang C1 sampai sekarang dipublikasi oleh KPU itu belum ada yang bisa membantah. Karena ada tandatangan di sana dan itu kebanyakan asli," ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, I Nyoman Subanda yang melakukan penelitian dugaan kecurangan Pemilu 2024 di Bali, mengatakan terkait Pilpres di Bali belum menemukan dugaan money politic dan penggelembungan suara.

"Saya kebetulan tidak ketemu soal itu. Saya juga survei ke daerah, itu tidak melihat (kecurangan di Pilpres) kalau di Bali," kata Subanda, saat dihubungi via telepon Selasa (19/3).

Soal dugaan penggelembungan suara di sirekap, sejauh dirinya amati dan berdiskusi dengan KPU di tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota serta pihak lainnya memang ada terjadi kesalahan input data saja,"Tapi itu sudah dicek ulang dan itu ada saksi waktu hitungnya semua calon di pilpres itu ada saksinya," ujarnya.

Selain itu, dia tak yakin ada dugaan penggelembungan suara dan money politic di Pilpres Bali, karena setiap tim paslon capres-cawapres menurutnya saling memantau di Pemilu 2024.

"Kalau di Bali kok nggak yakin ada itu, kalau di Bali saya belum melihatnya money politic dalam artian beli suara. Kalau sekarang penyelenggara tidak berani main, karena mata-matanya tinggi sekali di Bali. Karena ada saksi pilpres, ada saksi partai, ada saksi caleg dan banyak sekali saksi di situ. Jadi sedikit bermain akan kelihatan langsung dan bisa viral," lanjutnya.

Kendati demikian, ia mengungkap money politic yang marak ditemukan di Bali adalah di tingkat Pemilihan Legislatif (Pileg) di Pemilu 2024. Dan untuk serangan fajar atau uang dibagikan kepada pemilih bervariasi mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 800 ribu per orang.

Selain itu, ada juga untuk menarik simpatik pemilih dengan menggunakan Bantuan Sosial (Bansos) yang dilakukan oleh para caleg,"Kalau di Bali saya amati yang banyak main adalah para caleg, itu ada serangan fajar, ada yang membagikan bansos dan hampir (caleg) semua partai begitu," ungkapnya.

Ia memaparkan, dugan money politik di Bali tergantung daerahnya dan urgensinya serta ada paketnya. Misalnya, kalau hanya memilih satu caleg DPRD Kabupaten per orang ada yang cuma diberi Rp 100 ribu. Tapi, kalau paket lengkap memilih tiga caleg, yaitu di caleg DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI, ada yang dibayar Rp 400 dan Rp 500 ribu hingga sampai Rp 800 ribu per orang atau per suara.

"Kalau di Kabupaten Buleleng untuk calon legislatif di DPRD kabupaten itu sampai Rp 100 ribu per orang. Ada paketnya, kalau DPRD kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR pusat itu satu paket mereka berkoalisi (bayar) Rp 400 hingga Rp 500 ribu per orang. Saya juga dapatkan di Kabupaten Karangasem itu sampai ada Rp 800 ribu," ujarnya. 

Ia mengutarakan, dalam penelitian dan survei yang dilakukannya serangan fajar money politic marak dilakukan caleg di pedesaan dan pihaknya mengaku memiliki data soal itu. Apalagi, saat itu Pemilu 2024 berdekatan dengan Hari Raya Galungan di Bali dan saat itu banyak masyarakat yang sedang membutuhkan uang.

"Saya juga nongkrong di masyarakat dan wawancara mereka yang dapat uang langsung dan dia memperlihatkan pada saya. Apalagi, momen Galungan itu tinggi sekali (serangan fajar) di pedesaan," ujarnya.

"Banyak yang tidak punya uang masyarakat kita di pedesaan. Walaupun Bali kelihatannya makmur, pariwisata mulai hidup tapi berat ekonomi di pedesaan dan masih paceklik, dan momen Galungan itu menjadi penting bagi mereka untuk mendapatkan uang," ujarnya.

Kemudian, saat ditanya apakah ada money politic satu paket dengan pilpres. Sejauh ia memantau, belum menemukan hal itu dan hanya mengetahui money politic soal paket lengkap yaitu DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI di Bali.

"Kalau pilpres malah lepas (masyarakat memilih sesuai keinginannya). Kalau legislatif saya punya datanya kok, data daerah, data partai, data caleg (yang diduga melakukan money politik). Kalau model serangan fajar dianggap kecurangan yaitu sudah, karena semua partai main kok, saya berani bilang itu," ujarnya. (*)

M Kadafi

LPG 3 Kilogram Langka di Bondowoso, Pemkab Lakukan Sidak

Artikel Sebelumnya

Cerita Megawati, Atlet Voli Sukses di Liga Voli Korea saat Pulang ke Jember

Artikel Selanjutnya

You may also like